Kamis, 03 September 2015

Mantenan dan Keping Pertamanya


Saya kadang lupa kalau sudah menikah, masih suka bertingkah aneh, cengengesan, dan malas-malasan. Tapi kesedihan yang membuat saya merasa kadang tidak siap betul menikah itu bukan karena tidak pandai memasak atau tidak terampil ini itu, melainkan meninggalkan keponakan saya tercinta, Nameera, dalam kesediriannya lagi. Nameera tidak  pernah benar-benar sendiri, banyak orang tersayang membanjirinya dengan cinta. Tapi saya yang sudah terlanjur sok-sokan pasang badan di sampingnya setahun ini merasa membuat lubang di hatinya. Di hati saya sendiri. Lebih tepatnya, saya bukan tidak siap menikah, melainkan saya tidak siap meninggalkan Nameera.

Sejak sebelum menikah, berkali-kali dalam nada yang sendu, saya menceritakan Nameera pada Mas Ofa dengan kadar emosi yang bahkan saya sendiri tak bisa mengontrolnya. Setelah menikah, saya tidak berubah. Kali ini ada bahu Mas Ofa yang siap saya sandari tiap kali ngilu dalam hati muncul.

Hubungan saya dan Na itu rumit tapi juga sederhana. Sederhana karena jelas saya tantenya dan Na ponakan saya. Rumit karena Na bagi saya terlajur spesial sejak ia lahir, sejak bahkan saya belum melihat wajahnya, ia sudah membuat saya menangis bahagia di tengah malam dalam jarak 200 km. Kalau ada kecanggungan sebagai manten baru apalagi di rumah mertua dengan segala ketidakterampilan saya dalam banyak hal, itu tidak ada apa-apanya dibanding kerinduan saya terhadap Na.


-

Maret lalu, ketika balasan lamaran ke Temanggung, 26 Juli 2015 dilingkari sebagai bakal hari bahagia saya dan Mas Ofa. Dalam majelis itu diputuskan juga bahwa KH. Mustofa Bisri akan diaturi untuk jadi akid yang menerima taukil dari ayah saya selaku wali. Voila, semua terjadi dengan sangat cepat! Meski sejujurnya saya lebih senang dinikahkan langsung oleh ayah saya. Tapi Mas Ofa mengingatkan saya, menikahkan itu hak ayah, terserah ayah kalau mau menaukilkan pada siapa. Saya merenunginya, iya saya menerimanya.

Ibu adalah penggerak utama dalam rentetan acara pernikahan kami. Mulai dari membuat rencana, mengatur belanja, mengorkestrasi orang dapur, tukang renovasi rumah, dan panitia lapangan, menerima dawuh ayah yang kadang sulit diterima, dan ketegangan ini itu, Ibu yang pertama terdampak. Syukur kesehatan Ibu jauh lebih baik daripada bertahun-tahun lalu, daripada saat kedua kakak saya menikah. Lebih jauh lagi, saya bahagia karena keluarga saya lengkap. Keempat kakak saya beserta anak-anaknya hadir dan terlibat aktif menyiapkan acara tasyakuran, meski harus berkorban waktu dan tenaga yang besar.

Karena sudah dua kali menjadi panitia pernikahan, saya tidak bisa menghentikan diri saya untuk ikut mengatur acara saya sendiri, meski ini membuat saya stres. Hehe. Kalau acara resepsi di Tambakberas sangat banyak sesi fotonya, saya mohon maaf pada hadirin sekalian karena saya maksa banget sesi foto harus lengkap dan genap. Pada akhirnya juga kurang satu, kelewat satu sesi foto bersama Bani Sulaiman, keluarga besar dari pihak Mbah Putri L Memang tidak ada yang sempurna di dunia ini.

-

Mbak Alissa Wahid meledek kalau acara nikah kami di Jombang itu adalah side event Muktamar NU ke-33. Sudah waktunya lima hari sebelum Muktamar, yang menyerahkan dari keluarga putra KH. Said Asrori (periode ini diangkat menjadi jajaran Rois Syuriah PBNU), yang menerima KH. Malik Madani (periode lalu Katib ‘Am PBNU), dan mauidzoh hasanah disampaikan KH Mustofa Bisri (Rois Am PBNU yang menolak menjabat). 

Mungkin orang melihat ampuh nih pentolan syuriah pada hadir, padahal ayah saya ‘Cuma’ ngurusin NU tingkat kecamatan. Saya tentu bahagia beliau-beliau menyempatkan hadir ke rumah di sela-sela kesibukan jelang Muktamar. Tapi yang membuat hati saya menghangat adalah ketulusan doa beliau dan semua yang hadir dengan dan tanpa kebesaran yang tampak. Ketulusan dari hati hanya dapat dirasakan oleh hati, selainnya hanya sampai di mata dan telinga. Saya berterima kasih pada kerabat dan sahabat semuanya yang sudah turut mendoakan perjalanan panjang kami ke depan.

Empat hari setelah acara, ketika kami lagi senangnya kasak-kusuk cerita ini itu berdua, Gus Mus kembali memarkir mobilnya sebentar di seberang sungai depan rumah. Beliau telepon Mas Ofa yang pernah menawarkan rumah untuk tempat istirahat selama Muktamar. Gus Mus tidak bersedia menempati Suite Room hotel Yusro yang disediakan panitia. Dengan gontai karena bangun dari jatuh tidur siang, Mas Ofa mengantarkan Gus Mus ke rumah yang dimaksud dan saya menyusul di belakang. Singkat cerita setelah mempertimbangkan beberapa tawaran yang datang, Gus Mus memilih rumah di sebelah utara makam Mbah Wahab yang tidak lain rumah kosong milik bulek saya tercinta, Bulek Atik.

Saya buru-buru ke tukang plat nomor di depan RSUD  Jombang, menggandakan plat nomor mobil ayah. Sejam rampung, plat itu langsung saya serahkan untuk dipasang sementara menggantikan plat yang populer K141KU.  Tak heran kalau Gus Mus keluar masuk dari rumah itu dengan selamat tanpa diketahui orang. Padahal makam Mbah Wahab selalu ramai ditambah ada pameran akik di sebelahnya.

Karena Gus Mus tak ingin merepotkan keluarga kami, Mas Ofa menawarkan diri (juga diri saya) untuk menemani Pakde Mus dan Bude Fatma selama  menghuni rumah itu. Saya lantas gelagapan, dengan apa saya harus melayani Pakde Bude sementara saya tidak bisa masak T.T. Dengan sukses, menu pertama yang tersedia adalah sambel terong, tempe yang agak kehitam-hitaman, telur dadar, sup, dan alhamdulillah tuan rumah membawakan gurame goreng dan bakar :D

Hari-hari setelah itu relatif lancar karena keluarga kami memang suka merepotkan diri, setiap hari ada makanan matang dan setengah matang datang ke rumah dan Voila, siap dihidangkan!




Menemani Pakde Mus dan Bude Fatma itu mudah karena beliau berdua sederhana dan merasa cocok diaturi makanan apa saja. Yang bikin saya kepontal-pontal justru instruksi tuan rumah, Bulek Atik, yang kalau saya menyajikan ndlewer dikit langsung dikoreksi. Betapa tidak terampilnya saya. Setelah saya kini menjajal rumah Mas Ofa, pengalaman belajar dengan Bulek Atik jauh lebih berat daripada dengan mertua :D

Dua hari sebelum Muktamar dimulai, suasana di rumah tenteram saja. Pakde banyak bercerita tentang Abah almarhum. Menurut cerita yang diterima Mas Ofa, Gus Mus memberikan namanya untuk Mas Ofa kecil yang baru lahir. Tapi Gus Mus mengelak. “Abahmu sing ngefans karo aku,” pungkas beliau disusul tawa bersahut-sahutan.

Ketika pembukaan Muktamar, Gus Mus tidak bersedia dijemput patwal sejak dari rumah singgah. Mas Ofa mengatur pertemuan di bengkel Mada Auto Care yang dikelola kakak  saya, Mas Imdad. Saya memilih di rumah saja meski sepertinya hanya kemarin satu-satunya kesempatan saya seumur hidup bisa masuk ke arena pembukaan Muktamar tanpa hambatan.  Sepulang dari arena, ternyata semobil lapar karena tidak nyaman makan di pendopo. Akhirnya dengan kucek-kucek mata, saya dan Bulek Atik yang dari tadi menemani saya di rumahnya sendiri, menyambut Pakde Mus, Bude Fatma, dan Mas Ofa dengan dua mangkuk besar mie goreng dan mie godok pedas. Sluuuurp!

Selama Muktamar, Pakde Mus tidak bersedia ditemui siapa pun yang berkepentingan dengan Muktamar. Setahu saya yang tidak banyak tahu, Pakde Mus menolak ajakan bertemu. Kalau pun Pakde Mus menghendaki bertemu, beliau ngalahi bertemu di luar rumah, termasuk dengan Pak Nadirsyah Hosen di warung Pojok II Perak. Saya lagi-lagi di rumah saja karena Bude Fatma juga tidak ikut. Berkali-kali saya tawari Bude Fatma keluar rumah sekadar lihat-lihat pameran. Tapi Bude selalu menolak, katanya urusan oleh-oleh sudah dibereskan Mas Rizal, menantunya.

Karena sudah niat laden di rumah itu, tamu-tamu yang ta’khir manten di rumah Ayah Ibu banyak yang tidak bertemu manten. Selama Muktamar, kami juga tidak bisa mengemukakan alasan dengan gamblang karena Gus Mus tidak ingin tempat istirahatnya diketahui orang. Saya dan Mas Ofa minta maaf sebesar-besarnya.

Kalau Pakde dan Bude sudah di kamar malam hari, Mas Ofa sering mengendap-endap keluar sampai subuh ketemu teman-teman lama, karena kesempatannya hanya malam hari. Muktamar itu sebenarnya tidak merepotkan hanya saja banyak orang yang membuat repot diri sendiri selama Muktamar, termasuk mas Ofa ^^v

Setiap ketegangan di arena Muktamar merambat dengan cepat ke rumah persembunyian kami. Ketika sidang tatib yang panas, sidang komisi ahwa, dan musyawarah ahwa. Tapi tidak sekali pun saya melihat kekalutan yang berlebihan di wajah Pakde. Sepulang dari pidatonya yang luar biasa menggetarkan untuk menenangkan sidang tatib, di mobil Pakde menyelimurkan kegundahan hatinya dengan nggojek. Sementara sepenuturan Mas Ofa, hatinya saja belum selesai meleleh, Pakde sudah meninggalkan kekecewaan di arena Muktamar semari tetap membawa rasa malu kepada masyayikh. Sampai di rumah, kebetulan Ibu dan Na datang. Pakde langsung saja menanggap Na yang kenes menyanyikan lagu Ya Lal Wathon-nya Mbah Wahab. Seolah biasa saja, tapi saya tak pernah tahu apa yang ada di dalam hati beliau.

Pagi ketika kembali pleno di alun-alun mengetok hasil komisi-komisi, Mas Ofa sudah disangoni Pakde Mus surat yang sejak kemarinnya sudah dibawa ke komisi organisasi di Denanyar. Rabu pagi itu, Mas Ofa ditimbali Pakde untuk diberi isi surat yang baru ditukar dengan yang lama. Lalu saya membantu membungkus kembali surat itu dalam amplop cokelat berukuran sedang. Ketika saya tanya apa isi surat itu, Mas Ofa menggeleng sama tidak tahunya.

Akhirnya Pakde, Bude, Mas Ofa, Saya, dan Mas Irul (yang nderekkan Pakde) bersama menuju alun-alun. Pertama kali itu saya mampir sebentar ke arena Muktamar. Pakde dan Mas Ofa turun menuju rumah Sekda yang dijadikan base camp PBNU. Saya dan Bude akhirnya jalan-jalan ke NU Expo di Stadion Jombang.

Pas ketika kami berdua selesai berkeliling, Mas Nabil, kakak ipar saya, telepon kalau dia akan mengantarkan Pakde ke stadion. Urusan Pakde selesai sudah di alun-alun. Pakde tidak perlu hadir di forum yang akan mendomisionerkan dirinya. Di jalan Kiai Said Aqil menelepon dan Pakde hanya titip salam terima kasih dan minta maaf.

Sampai di rumah, Pakde tampak gusar menunggu sidang ahwa. Di alun-alun, Mas Ofa melaksanakan tugasnya sebagai pemyampai pesan. Mas Ofa masuk ruangan sebelum sidang dimulai dan bertemu empat mata dengan Kiai Ma’ruf Amin. Sebelum menyampaikan pesan, Mas Ofa sempat meminta doa untuk pernikahan kami berdua. Setelah itu, baru lah surat disampaikan ke Kiai Ma’ruf yang lantas dibawa ke musyawarah Ahwa.

Bada ashar, Mbak Yenni dan Mbak Alissa diperbolehkan Pakde sowan ke rumah persembunyian. Lagi pula Muktamar akan segera selesai dalam hitungan jam. Saya sengaja menghindar dari perbincangan itu. setelah Mbak Yenni pamit, saya baru nimbrung sambil menemani Mbak Alissa yang sedang menemani Gus Mus. Kabar datang kalau Ahlul Halli wal Aqdi memutuskan memilih Gus Mus sebagai Rois Am dan Kiai Ma’ruf sebagai wakil Rois Am. Sebelum maghrib, Gus Yahya sempat bolak-balik dua kali. Barangkali Gus Yahya mau minta sekali lagi Gus Mus bersedia menerima keputusan Ahwa. Tapi yang terjadi sebaliknya, Gus Mus meyakinkan Gus Yahya bahwa beliau sudah menyatakan tidak bersedia secara resmi sebelum majelis ahwa berlangsung dan beliau kukuh dengan pendiriannya.

Seperti banyak diketahui orang, Gus Mus mengharapkan Mbah Maimoen yang jadi Rois Am sebab kesepuhan dan kealiman beliau. Sebaliknya, Mbah Moen menghendaki Gus Mus yang jadi Rois Am. Tepat di situ, Gus Mus menceritakan pengalamannya ketika didorong-dorong sowan Kiai As’ad agar beliau berkenan menjadi Rois Am. Kiai As’ad yang saat itu tengah istirahat di amben kayu sederhana ngendika, Malaikat Jibril yang minta saja saya tidak akan mau. Lalu Gus Mus sowan Mbah Ali yang akhirnya membuahkan hasil. Gus Mus adalah santri kinasih Mbah Ali, tapi melalui pengalaman itu Gus Mus melihat sisi lain Mbah Ali yang belum pernah Gus Mus lihat. Usai bercerita, Gus Mus berkelakar, mungkin ini karma. Saya pun ikut tertawa, tapi hati saya bergetar luar biasa.

Bada sholat maghrib, saya menemani Pakde Mus dan Mbak Alissa makan ikan penyet dan sayur asem seadanya kiriman dari ndalem Mbah Putri. Saya memberanikan diri bertanya pada Pakde, kalau bukan Mbah Moen yang terpilih Rois Am, lalu tujuan Pakde mundur agar yang paling sepuh, paling faqih dan paling alim yang terpilih berarti tidak tercapai. Pakde menjawab, Kiai Ma’ruf bagaimanapun lebih faqih dan lebih alim dari Pakde Mus. Ya Allah..

Tak lama, Mas Ofa dan Mas Nabil datang dengan wajah yang luar biasa tegang. Perasaan Mas Ofa campur aduk karena merasa tidak berhasil melaksanakan misi. Lebih dari itu, situasi yang tidak terkendali di alun-alun dan gosip tentang Tebuireng membuat kalut. Tapi Pakde mendengarkan laporan Mas Ofa dan Mas Nabil sembari dahar dengan lahap. Yang sudah berat tak usah dibikin jadi tambah berat, begitu kira-kira. Selama bersama Gus Mus, saya yang tidak mengenal baik Gus Mus melihat beliau melaksanakan nasihatnya sendiri, sing sakmadya sing  sakmadya..

Esok harinya, Gus Mus melaksanakan nadzar jika tidak jadi Rois Am. Nadzarnya banyak sekali; sowan ke empat masyayikh pesantren di Jombang, nyate di Pak Faqih Cukir, nginap di Pacet, dan mungkin ada lagi yang lain. Sowan Gus Mus ke makam Mbah Hasyim itu yang paling menyayat hati. Beliau meminta maaf dan memintakan maaf untuk santri-santri ruhaniyah Mbah Hasyim. Batin Gus Mus, Muktamar dibawa ke Jombang agar orang-orang itu malu pada masyayikh, tapi yang terjadi malah sebaliknya, menginjak muruah NU di depan mata pendahulu.

-

Berkali-kali Pakde Mus ngendika,” salahe dewe dadi manten pas muktamar. Muktamar keterak muktamar.”  Saya capek iya, tapi pengalaman bersama Pakde Mus sangat berarti buat saya. Meski kami dibilang belum bulan madu, belum senang-senang, apalagi yang lebih menyenangkan dari mengisi hari-hari awal nikah dengan meladeni manten lawas semenarik Pakde Mus dan Bude Fatma yang hangat, bijak, dan tentu kocak. Semoga selama hidup kami, kami senantiasa diberi rizki untuk khidmah, sakmadya, sederhana, dan istiqomah semampu kami.

Juga semoga Allah selalu melindungi Nameera. Na mengajari saya lebih banyak hal daripada yang saya ajarkan padanya selama quality time kami yang terbatas oleh keterbatasan saya. I love you, Na, always..

Ngadirejo, 4 September 2015












Kamis, 12 Februari 2015

7 Hal ini yang Membuat Pondok Krapyak Istimewa




MAsjid Al-Munawwir Krapyak
Foto dipinjam dari http://yusufanas.blogspot.com/2012/09/nasionalisme-ala-santri-santri-krapyak.html


Gaes, kali ini saya mau melaporkan hal yang ga mikir dan dengan  gaya ngepop ala-ala hipwee. Ga perlu mikir EYD dan tanda baca. Ini tentang pondok yang saya huni selama enam tahun. Iya, pondok ini menjadi saksi mengapa saya sampai menghabiskan masa kuliah 13 semester. You will see how comfort my surrounding is! Anw, ini perspektif yang relatif subjektif. Santri putra dan santri komplek lain pasti punya pandangan lain tentang hal yang saya sebutkan ini. Mengapa Krapyak istimewa?

1. Lokasinya di Jogja
Pondok Krapyak adalah pondok yang paling dekat posisinya dengan pusat kota. Ke alun-alun kidul yang terkenal dengan tantangan jalan tutup mata itu jaraknya sekitar 2-3 km. Bagi anak Krapyak, arti alkid yang penting bukan tutup matanya. Itu kan khas wisatawan banget. Alkid adalah tempat kumpul bareng kalau teman-teman lagi ada waktu senggang bersama dan juga alternatif kalau bosen sama menu sarapan sekitar Krapyak. Biasanya setelah modus jogging, mereka (atau kami) sangat bersemangat merogoh kocek buat beli lontong opor, bubur ayam, nasi kuning, dan susu segar hangat di sisi barat dan timur alun-alun. Kalau sore, alkid memberikan desir yang mistis dan melegakan di antara lalu-lalang motor, suara lagu anak dari odong-odong, dan becak sepeda yang mulai menyalakan kerlip lampu.

Selain itu, malioboro juga magnet tersendiri. Karena jaraknya ga jauh, menurut saya, itu yang bikin toko baju sekitar Krapyak ga laku-laku amat. Santri Krapyak lebih pilih ke Beringharjo dan pertokoan malbor sekalian jalan-jalan.

Yang paling penting, karena Jogja adalah surga perguruan tinggi. Sebagian besar santri Krapyak yang dewasa memilih mondok di Krapyak juga sekalian kuliah. Ada yang ke UIN Suka, UGM, UNY, UMY, Alma Ata, STIKIP PGRI, Stikes Yogyakarta, dan lain-lain. Tapi sebagian juga ada yang mondok aja buat ngaji kitab salaf dan tahfidz Quran.

2. Mbah Moenawwir dan Mbah Ali Maksum
Kiai Moenawwir adalah pendiri pertama pondok Krapyak. Sama seperti Mbah Nur Iman Mlangi, ketika itu sebagian keluarga bangsawan Kraton yang mendalami agama memilih keluar dan mencari tanah lain yang berkembang menjadi pesantren. Siapa yang belajar mengaji Al-Quran atau menghafalnya di Krapyak sanadnya jelas, mengikut sanad beliau. Salah satu putri beliau, Mbah Nyai Hasyimah, menikah dengan pemuda cemerlang asal Lasem, Rembang, Kiai Ali Maksum. Mbah Ali masyhur sebagai sosok Kiai yang ‘alim dan open minded. Di bawah kepemimpinan Mbah Ali, santri-santri yang kini menjadi tokoh nasional  berkembang. Di antaranya, Gus Dur, Gus Mus, Kiai Said Agil, Kiai Masdar Farid, dan banyak lagi. Haul beliau berdua biasanya diperingati bersamaan dengan wisuda Quran santri hafidz-hafidzoh.

3. Kamus Al-Munawwir dan Syi’ir Asmaul Husna
Kamus Al-Munawwir yang digunakan oleh sebagian besar santri di Indonesia itu disusun oleh KH. Warson Moenawwir, salah satu putra Mbah Moenawwir. Cara membaca kamus ini mesti disertai dengan pengetahuan dasar tentang shorof. Karena kelompok kata yang digunakan sebagai pedoman pencarian adalah kata kerja lampau (fi’il madli). Dari situ baru diturunkan ke sejumlah kata benda dan frasa. Jadi kalau yang awam bahasa arab, menggunakan kamus ini tentu agak kesulitan. Tapi ada alternatif lain dari Krapyak, Kiai Attabik dan Pak Zuhdi menyusun kamus Al-‘Ashr yang disusun dengan gaya kontemporer.
Selain itu, di sekitar Krapyak juga sering didengungkan syi’ir Asmaul Husna ijazah dari Abah  Kiai Ali Maksum, yaitu Kiai Maksum Lasem. “Bismililahi wa bihi badana – walau ‘abadna ghairahu lasyaqina – ya habbadza rabban wa hubba diina – wa habbadzan muhammadun hadiina – laulahu maa kunna wa laa baqiina”. Uniknya, dalam satu baris, terdapat lima penggalan kalimat, tidak seperti nadzom alfiyah, imrithi, atau maulid diba’ dan banyak syi’ir lainnya yang sebaris terdiri dari dua penggalan kalimat.


Foto KH. Ali Maksum dan teks syi'ir Asmaul Husna

4. Banyak Pilihan Program
Pondok Krapyak terdiri dari dua yayasan, yaitu Yayasan Al-Munawwir dan Yayasan Ali Maksum. Dua yayasan ini satu keluarga besar. Keduanya mengembangkan model pesantren yang agak berbeda. Al-Munawwir tidak menyediakan sekolah formal, kecuali belakangan ada SMK. Fokus pondok Al-Munawwir mengaji kitab-kitab salaf, salah satunya direpresentasikan oleh Ma’had Aly Al-Munawwir yang legendaris diasuh dan diajar langsung oleh KH. Zainal Abidin Munawwir Allah yarham sebelum beliau wafat.  Di Munawwir juga ada tiga komplek tahfidz, yaitu Hufadz I dan Hufadz II, serta Q6 yang terletak di komplek Q khusus putri.  Bagi yang tidak kuliah, ada program ngaji pagi, bagi yang kuliah, mereka mengikuti ngaji di malam hari.

Sementara itu, Yayasan Ali Maksum menyediakan sekolah formal seperti MTs dan MA juga SMP dan SMA. Meski kedua kelompok sekolah itu sejenis, tapi fokus dan manajemen penyelenggaranya berbeda. Yayasan Ali Maksum juga menyediakan sejumlah komplek khusus mahasiswa dan komplek tahfidz. Uniknya, komplek-komplek di Krapyak sebagian besar disebut dengan huruf, meskipun tidak lengkap dan tidak urut A-Z. Misalnya, komplek AB, komplek D, komplek IJ, Komplek L, Komplek N, komplek H, komplek GP, Komplek Q, komplek R, komplek T, dan seterusnya. Ada juga yang tidak pakai huruf seperti Komplek Nurus Salam, Komplek Hufadz, dan Komplek Hindun.  Masing-asing komplek diasuh oleh pengasuh yang berbeda dan punya karakter khas. Persis seperti kata KH. Zamakhsyari Dhofir, jumlah jenis pesantren itu sejumlah kiai/bunyainya. Tiap pesantren itu otentik.

5. Ustadz Pesantren Kelas Universitas
Selain Ma’had Aly yang memang tingkatnya advance dan dulu diasuh langsung oleh Kiai Zainal dan sekarang oleh ustadz-ustadz senior, beberapa komplek di Krapyak juga mendapat pengajaran dari ustadz yang sekaligus dosen di UIN Suka. Di antaranya yang masyhur adalah Dr. Hilmi Muhammad, Dr. Phil. Sahiron Syamsudin dan Dr. Abdul Mustaqim, kebetulan ketiganya dari jurusan Tafsir Al-Quran dan Hadist. Tapi hampir seluruh ustadz di Krapyak juga mengenyam pendidikan universitas sehingga insight yang sampaikan kepada santri sangat kaya. Beberapa ustadz di Krapyak juga lebih suka memberikan keterangan yang panjang daripada maknani isi kitab banyak, meskipun yang sebaliknya juga tidak sedikit.


Kreativitas santri di ajang lomba Muharroman

6. Warung yang super enak dan murah
Kalau sudah ngomongin warung di Krapyak, buanyaaak macamnya. Sebut saja Tenda Biru, Lengko, Cuwiri, Bu Berkah, angkringan Agus, angkringan depan Kopontren, SOS, pecel lele Handayani, penjara, burjo, dan banyak warung langganan santri putra yang saya tidak tahu lokasi dan namanya. Yang pasti, semuanya harganya terjangkau, menggoyang lidah, dan bikin kenyang. Masing-masing warung itu juga punya ciri khas tersendiri. Di warung Tenda Biru atau Tenbi misalnya, menu ayam tusuk pedas manis, ayam ijo, telur pedas, tumis kangkung, dan lain-lain disukai santri putri dan putra.  Sorenya, Tenbi ini juga berubah wujud jadi angkringan yang tidak lupa juga menyediakan berbagai macam nasi kucing dan lauk-pauk. Sedaaaap lah pokoknya. Barangkali nyaris ga ada santri Krapayak yang kurang gizi :D

7. Tidak Berpagar
Selain komplek N, tidak ada komplek yang berpagar besi dan dikunci. Komplek N pun hanya dikunci mulai menjelang maghrib saja setelah itu dibuka kembali untu lalu-lalang ustadz yang hendak mengajar. Lokasi pondok Krapyak juga membaur dengan kampung sekitar. Awal saya ke Krapyak, saya heran kok banyak orang kampung sliwar-sliwer lewat depan pondok (khususnya gang mawar, masuk ke Ali Maksum). Tidak tahunya itu memang jalan kampung. Tembok pesantren langsung berjejer dengan tembok tetangga sekitar. Ini kelebihan sekaligus kelemahan. Dengan tidak adanya gerbang yang memagari pesantren, pondok Krapyak tidak mengeksklusi diri terhadap warga sekitar. Tetapi keamanan jadi sulit terpantau. Beberapa kali terjadi kasus pencurian yang dilakukan oleh orang luar pesantren sehingga sulit terdeteksi. Overall, Krapyak tetap menjadi pondok yang nyaman bagi santri-santri yang taat maupun yang bakat ndablek. Taat dan ndablek itu sebagian besar sudah faktor bawaan. Pengondisian pesantren tidak bisa selalu berhasil pada setiap individu santri. Sebab kesadaran adalah kunci.

Demikian ulasan tentang Krapyak yang bolong di sana-sini. Setiap santri punya kesan sendiri. Ini kesan sih kesan saya :D apapun kesannya, kesimpulannya pasti Krapyak ngangeni dan istimewa!


PK: Alien yang Menentang Tuhan Bikinan Manusia



Imajinasi tentang alien yang tersebar di film-film itu sungguh liar. Liar dalam makna tak ada pola yang benar-benar sama dalam menggambarkannya. Mulai dari film seperti Men in Black dan banyak film kartun yang menawarkan imajinasi alien berkulit hijau, bertelinga panjang, dan bermata bola, semacam Picollo di seri kartun Dragon Ball. Semua orang boleh mengarang mumpung belum ketemu faktanya.

Berbeda dengan film Hollywood, alien dalam film PK tidak memiliki hasrat untuk menguasai bumi. Berbeda juga dengan film Hritik Roushan Koi Mil Gaya yang bau science fiction. Meneliti dan mengeksplorasi iya, tapi tidak kolonialis. PK (dibaca pikei) adalah sebutan bagi alien tak bernama yang diperankan oleh Amir Khan. PK adalah alien yang tersesat, sebab kalung yang berfungsi sebagai alat komunikasi dijambret oleh orang lokal dalam meint-menit pertama kedatangannya di bumi di sebuah gurun di India. Kebetulan saja, alien ini mendarat di belahan bumi yang dihuni ras Kaukasoid yang punya ciri sama dengannya.

Dari peristiwa kejambretan itu, kisah PK dimulai. Perilaku PK aneh, itu sebabnya ia dipanggil PK yang artinya mabuk. Tiap kali ia bertanya dan berinteraksi dengan masyarakat, orang selalu menuduhnya mabuk. Di kepalanya, ia punya banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab karena batasan etis dan perilakunya menyalahi adat. Pokoknya, ia membuat orang sebal sekaligus kewalahan. Ada satu adegan dengan khas nyanyi dan joget India, PK berusaha memegang tangan orang-orang, khususnya perempuan. Di planetnya, koloni PK tak berbahasa. Mereka berkomunikasi melalui sentuhan tangan. PK ini punya kemampuan mengetahui pengalaman dan pikiran lawan bicaranya dengan menyentuh tangan. Persis seperti Aro dalam saga Twilight. PK akhirnya bisa bicara bahasa manusia (Hindi) dengan menyerap pengetahuan dari seorang pekerja prostitusi selama enam jam.
Kisah PK selanjutnya adalah pengalaman dia yang berliku untuk mencari alat komunikasi. Ia bertemu dengan gadis modern yang patah hati bernama Jaggu dan membuat peperangan dengan tokoh Hindu Terkemuka, Tapaswi. Upaya Jaggu dan PK dalam mengkritisi agama itu yang membuat film ini berbeda. Pertanyaan-pertanyaan kritis tentang praktik kejumudan dalam agama dan juga cinta beda agama-bangsa antara Jaggu dan Saarfaraz dikemas dengan menggemaskan.

Yang paling quotable dari film ini, PK bilang, “Tuhan yang menciptakan kita semua, kita percaya padaNya. Dan tuhan yang kau ciptakan, kembaran tuhan itu, musnahkanlah.”

Dari Toleransi ke Problem Struktural

Tulisan ini tidak bermaksud memberikan spoiler tengang film PK. Anda bisa tonton sendiri filmnya. Banyak orang menganggap film ini bagus karena keberanian dan kreatifitasnya dalam menyampaikan isu tentang Tuhan dan agama.

PK turun ke bumi sebagai bayi yang telanjang. Telanjang dalam arti sesungguhnya dan kiasan. Ia turun dari pesawat tanpa busana juga tanpa pengetahuan mengenai dunia. Saat ia kebingungan mencari alat komunikasinya yang dicuri, PK bertanya pada orang-orang bagaimana cara menemukannya. Semua orang menjawab hanya Tuhan yang tahu. Lantas ia mulai mencari Tuhan untuk meminta alat komunikasinya.

Tapi PK bukan bayi, ia adalah lelaki dewasa. Ketidaktahuannya tentang dunia dan perilakunya yang dianggap nyeleneh tidak bisa dimaklumi. Berbeda dengan cara kita memaklumi anak kecil yang berbuat kesalahan, kita seperti tengah menjalankan sabda Tuhan, “biarkan saja, anak-anak kecil itu memang tidak tahu.” PK adalah lelaki dewasa secara fisik, tetapi ia lah bayi yang baru lahir terhadap peradaban bumi. PK mendekati Tuhan dengan tujuan pragmatis, menemukan remot kontrolnya. Tapi ketaatannya melebih siapa pun yang mengaku beragam di dunia ini. Karena dia menjalani ritual semua agama yang ia temui. Bagi PK, remot kontrol lebih berharga daripada surga dan segala balasan dari ketundukannya kepada Tuhan. Dia tak punya urusan dengan surga dan neraka.
Petualangan PK juga mengantarkan penonton pada perenungan kembali tentang taqlid buta. Tapaswi adalah simbol dari kejumudan beragama. Banyak orang mencari jawaban dari persoalan kehidupannya dengan bertanya pada pemuka agama. Seolah seluruh jawaban pemuka agama adalah kebenaran. Padahal setiap jawaban manusia mengandung potensi kebenaran sekaligus kesalahan. Bagi orang-orang yang beragama dengan fanatik, agama adalah yang dikatakan pemuka agamanya, seolah kita benar-benar sampai pada Tuhan. Kita tidak cukup memberi ruang untuk ketidaktahuan kita yang lebih luas dari pengetahuan kita tentang Tuhan. Kita tidak cukup punya keberanian untuk mengajukan kritik dalam beragama dan institusi sosial keagamaan.

Tapaswi ini punya duplikat di Indonesia. Ialah para ustadz seleb di televisi yang apabila ditanyai oleh umatnya selalu punya jawaban pasti. Televisi menyuguhi agama sebagai komoditas dan menjauhkan penontonnya dari orang-orang alim yang mengaji dengan lebih tekun dan memiliki kerendahan hati lebih dalam. Padahal orang-orang alim ini kalau di Jawa, tidak kurang-kurang jumlahnya. Meski demikian, meski kita punya ulama panutan, tidak semua hal dan persoalan kehidupan ini disandarkan padanya atau diterima bulat-bulat. Utamanya soal pilihan politik.

Kita dihadapkan pada realitas bahwa ada kecenderungan dari sebagian masyarakat yang maunya tahu agama secara instan. Sebagian dari mereka terjebak dalam konservatisme sempit, sebab mereka mendalami syariat dan mengabaikan akhlak. Memusuhi toleransi seperti memerangi syetan. Sementara ada juga yang mengutamakan akhlak terhadap sesama, tetapi menggampangkan  mengamalkan syariat. Tidak sedikit pula yang bisa beres dua-duanya.

Identitas agama yang mengental menjadi komunalisme adalah senjata makan tuan. Setiap agama mengajarkan umatnya untuk bersatu, kadang-kadang persatuan itu diletakkan dalam logika oposisi biner, yaitu untuk menghadapi liyan. Liyan adalah kelompok agama lain yang dipandang sebagai lawan. Jika saya berbeda dengan Anda, tidak berarti kita saling melawan. Kita bisa berbeda dalam persoalan akidah, tapi banyak hal yang bisa ditertawakan dan dikerjakan bersama. Saya melakukan itu dengan teman-teman nonmuslim dan juga teman Ahmadiyah. Teman saya yang Ahmadi itu sepertinya banyak yang diakui sebagai teman curhat yang ancur sekaligus menyenangkan.

Orang tak perlu beda agama untuk jadi lawan. Sedari kecil saya melihat konflik dalam keluarga besar yang hidup bertetangga. Yang membuat mereka saling terusik adalah soal kepentingan yang tak dibicarakan baik-baik yang semakin lama diawetkan sebagai prasangka. Setiap yang liyan adalah lawan, tak peduli lahir dari rahim siapa.
Film, novel, cerpen, dan bahan kampanye mengenai perdamaian memang penting. Setiap warga dunia ini diajari untuk mencintai damai dan intoleran terhadap kekerasan dan diskriminasi. Tapi kita tak bisa berhenti di situ. Akar dari konflik adalah persoalan yang lebih struktural. Berkali-kali kita menyangkal konflik yang terjadi di Ambon bahkan di Palestina adalah konflik agama. Kalau sudah dimengerti demikian, agama bisa dijadikan sebagai pendekatan semata bukan tujuan. Jika konflik itu bukan berdasar agama, maka ada hal lain yang harus diungkap. Sentimen agama, suku, dan bangsa biasanya dijadikan bahan bakar konflik yang berawal dari ketidakadilan ekonomi dan ketiadaan negara di tengah warga negaranya.

Saya tidak cukup percaya bahwa perbedaan agama dan bangsa bisa membuat orang membenci. Ada hal lain yang membuat orang saling benci dan lantas keburukan itu ditempelkan pada identitasnya. Tenaga untuk menciptakan perdamaian dunia sebaiknya dikonsentrasikan untuk mengatasi persoalan-persoalan struktural dengan tidak menafikan konteks tentang perang identitas. Agar orang tak lagi salah sambung untuk menyelesaikan persoalan hidupnya. Tidak tesasar pada perjalanan spiritualitas yang berdampak pada ketidakramahan terhadap sesama manusia.

Kegagalan manusia dalam menemukan kehidupan yang damai lahir batin tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuannya dalam ber-qona’ah  atau self-acceptance, melainkan juga struktur di sekitarnya yang memengaruhi kondisi dapur, rekening, pendidikan anak, harga pupuk, upah kerja, dan ketidakmampuan untuk menjangkau kebutuhan pokok hidup. Yang juga disebut PK, agama dari tuhan ciptaan manusia itu menyukai orang kaya dan mengabaikan orang miskin.

PK mengantarkan kita pada setengah jawaban dari persoalan. Sisanya kita harus melanjutkannya sendiri dengan petualangan yang mungkin lebih membingungkan daripada PK alami. Karena kita tidak seperti PK yang bisa pergi dari bumi.


PS: Dulu waktu saya kecil, saya diberitahu kalau nomor telepon Allah itu 24434  :D



Minggu, 08 Februari 2015

Oikos


Sebenarnya itu adalah judul yang sok-sokan untuk mengantarkan pada sekadar curhatan. Tapi dalam situasi yang bagi saya agak menekan ini, ingatan melayang pada bacaan-bacaan lama tentang publik-privat, domestikasi, dan semacamnya. Saya tak hendak membawa ini pada perbincangan tentang gender. Sama sekali tidak. Ini hanya tentang babak baru yang saya jalan dua bulan belakangan ini.

Barangkali ketika orang menemukan saya di rumah saja dan bermain dengan ponakan jadi bertanya atau mencoba mengambil kesimpulan sendiri. Itu nampak dari timpalan mereka ketika saya bilang ‘Nggih, sampun rampung (kuliahe)’. Sebagian mungkin berpikir saya di rumah membantu orang tua untuk mengurus yang bisa diurus. Kemungkinan yang lain mereka berpikir saya akan sekolah lagi atau mau menikah. Bisa jadi mereka juga mengira saya bingung mau ngapain karena tidak kerja. Semua kemungkinan itu mengandung kebenaran dan kesalahan.

Saya di rumah tidak membantu orang tua kecuali dalam hal menjaga dan bermain dengan ponakan. Kemungkinan sekolah lagi juga besar, tapi tidak dalam waktu dekat. Tidak bekerja memang benar karena saya menolak dengan halus dan tidak menjawab beberapa tawaran (dan kesempatan) kerja dengan berat hati. Barangkali paragraf ini adalah pledoi mengapa saya jadi sarjana pengangguran. Saya tengah memilih untuk ‘tidak melakukan apa-apa’ dalam kegalauan. Ketika saya mulai galau karena ‘terjebak’ dalam dunia domestik, saya ingat kembali tentang oikos dan polis.

Oikos adalah istilah Yunani sebagai lawan dari polis. Oikos adalah privat dan polis adalah publik. Setiap dari kita menjalankan peran dalam kedua panggung tersebut. Kedua hal itu kerap disebut bergantian dalam buku-buku yang sebenarnya hanya untuk mengantarkan pada salah satunya saja. Polis atau ruang publik adalah pembahasan seksi sejak Habermas melemparkannya pada jagad intelektual dunia. Tapi oikos, jarang dikaji serius, kecuali belakangan menjadi pembahasan yang membahana di kalangan feminis dengan istilah domestikasi perempuan.

Polis Yunani yang jadi cikal bakal demokrasi dunia itu kerap disanjung. Barangkali bukan lupa, tapi hanya tak terlalu mengacuhkan bahwa deliberasi masa Yunani itu hidup di luar oikos yang memiliki watak ekspolitatif dan subordinatif. Itu mengutip dari buku Politik Otentik karya Agus Sudibyo yang membicarakan pemikiran politik Hannah Arendt, seorang perempuan Yahudi yang cemerlang.

Kehidupan oikos menyimpan motif untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan keluarga. Dalam hal ini yang digarisbawahi perbedaan antara domestik-publik bukan semata soal siapa yang bekerja di rumah tanpa diupah atau yang bekerja di luar dengan upah, melainkan ada dan ketiadaan ruang yang artikulatif.  Menurut Arendt, polis adalah ruang aktualisasi kebebasan yang tak dimungkinkan dalam oikos.

Cara Soeharto memainkan dirinya sebagai Bapak Bangsa itu yang disebut F. Budi Hardiman, meminjam Arendt, sebagai super-keluarga.  Tidak ada istilah ‘bapak’ sebagai orang tua dalam publik. Sebab itu akan menimbulkan hierarki, sementara dalam publik semua orang atau warga negara mesti setara. Jika logika oikos semestinya tidak boleh menyentuh ranah publik, maka apakah yang sebaliknya juga tidak seharusnya terjadi? Apakah yang polis tidak boleh masuk dalam oikos? Apakah tidak lumrah ada demokrasi dalam keluarga? Atau jika ada yang mengaku demikian sebenarnya itu tidak pernah benar-benar ditegakkan? Jika saja ada demokrasi dalam keluarga apakah semua anggota keluarga terutama posisi suami – istri dan orang tua – anak memang setara?

Pernah saya dengar celethukan dari kakak saya, jika sudah tidak ada pertengkaran antara bapak dan anak, selesai lah dunia ini. Ini bisa diteruskan ke celethukan lainnya seperti, ‘arek saiki angel dikandani’ –saya mendengar ini dari orang di atas generasi saya ke generasi saya dan dari generasi saya yang sudah mulai dewasa kepada generasi di bawah saya. Ketika saya mendengar dari segenerasi saya, saya menahan geli. Saya belum lupa dikatai seperti itu dan sudah ada teman sebaya yang bicara seperti orang tua. Situasi sebenarnya tidak pernah berubah. Yang berubah adalah anak-anak yang menjadi dewasa dan berbicara seperti orang tuanya ketika dia masih anak-anak, sementara anak-anaknya melakukan hal yang sama persis ketika dia masih anak-anak. Demikian hidup.

Lebih jauh lagi, anak-anak dalam arahan Ibu, Ibu manut Bapak (dalam pengertian gradual). Pada zaman oikos Yunani, keluarga juga terdiri dari budak. Selain laki-laki, tidak ada yang bisa terlibat dalam proses politik polis yang menggelora. Perempuan dan budak terbenam dalam oikos. Tidak ada ruang artikulasi yang bebas dalam keluarga.

Saya mendengar dan membaca, ada keluarga yang memiliki bapak yang demokratis. Saya ingat sosok Letnan Jenderal Wiranto dalam novel Burung-burung Rantau karya Y.B. Mangunwijaya. Juga dalam buku ‘Gus Dur di Mata Perempuan’, Gus Dur yang digambarkan sebagai sosok suami dan bapak yang tidak ragu untuk cawe-cawe perkara belakang seperti mengganti popok anak. Gus Dur  dinilai anak-anaknya memberikan keleluasaan untuk membentuk diri mereka sendiri. Sampai-sampai, ada teman yang usai membaca bagian dari awal buku itu ingin punya suami seperti Gus Dur. Banyak orang bilang Gus Dur sebagai Guru Bangsa tak tergantikan, artinya tak ada yang menyamai. Tapi apakah Gus Dur dalam peranannya di keluarga ada yang bisa demikian? Saya tak hendak mengatakan tak ada lelaki yang bisa melakukannya, saya kira kalau dicari pasti ada beberapa. Tapi kita tak mendengarnya karena peran publiknya tak sebesar Gus Dur. Bahkan sudah mulai muncul juga istri bekerja, suami mengurus rumah tangga.

Dalam sepanjang konstruksi sejarah manusia, keluarga menyimpan watak hierakis. Itu fakta, tapi belum tentu benar atau mutlak demikian.  Ketika desakan demokratisasi menguat di publik, hembusan angin yang sama juga mengarah pada kehidupan privat. Itu yang menyebabkan ada ekspresi sulitnya mendidik anak masa kini yang tidak mudah patuh dan konsekuensinya harus membuka ruang kompromi dengan mendengar kehendak anak. Demikian juga istri-istri yang ingin bekerja di luar rumah karena dorongan eksistensial.

Kisah Gus Dur dan keluarganya tadi sebenarnya menunjukkan memudarnya hieraki itu. Selain karena Gus Dur adalah sosok yang memang besar, secara objektif ada situasi yang mengapresiasi cara Gus Dur mendistribusikan otoritasnya kepada anggota keluarga yang lain. Dalam budaya keluarga yang kerap disebut patriarkal ini, demokrasi dalam keluarga hanya bisa terjadi jika ‘pimpinan’ keluarga mau membagi kekuasaannya dan menggelar ruang dengar dan wicara.

Pembahasan di atas barangkali memandang keluarga dengan terlalu politis. Dalam keluarga selalu ada kepentingan, anak terhadap orang tua dan orang tua terhadap anak. Tetapi yang membuat kesan kepentingan itu mereda adalah adanya kasih sayang di antara anggota keluarga. Dalam cinta, altruisme tak bisa dihindari sebagai konsekuensi.

Dari sini dapat dipahami mengapa perbincangan tentang domestikasi perempuan selalu ‘menyerang’ laki-laki. Kita berada dalam budaya oikos yang dipimpin laki-laki sehingga kasus Gus Dur tadi dia sebagai laki-laki yang mendapat apresiasi. Tapi dalam keluarga lain yang pimpinan keluarga tidak mendistribusikan keleluasaannya, istri dan anak dianggap durhaka. Jika mendapat keleluasaan itu akan ditempuh dengan cara baik-baik oleh istri atau anak, sebagai metode untuk menemukan titik tengah tanpa dianggap pemberontak, itu membutuhkan kemampuan diplomasi yang cakap dan kesabaran yang sangat.

Bagaimana jika ada keluarga yang anak selalu menang dan orang tua mengalah? Mendiplomasikan kehendak yang berbeda memang tidak mudah. Karena sayang (atau takut), salah satu pihak memilih mengalah daripada kehilangan relasi darah. Bisa jadi juga anak mengambil sebagian otoritas dalam keluarga tanpa mau mendistribusikannya.
Hari ini isu perempuan dan anak sudah menjadi isu yang diurus oleh negara, dengan demikian ada bagian dari privat yang bisa menjadi publik dengan intervensi tertentu. Ini problematis bagi sebagian orang. Tapi dalam persoalan kekerasan, terhadap siapa pun, harus diselesaikan dengan hukum.

Ketika mendengar istilah ‘menyelesaikan masalah dengan kekeluargaan’, bagi saya justru terdengar ganjil. Bagaimana mungkin beberapa orang yang bersengketa yang saling meliyankan itu tiba-tiba menjadi keluarga yang dapat membagi otoritas dengan adil? Jalan memutar itu melelahkan. Dalam kehidupan publik justru semua orang itu setara tidak perlu repot-repot membuat kondisi keluarga yang palsu dan instan.

Kini, bisa dibilang saya tengah mendomestikasi diri karena alasan tertentu yang tidak bisa saya jelaskan di sini. Toh saya pun sebenarnya tidak domestik-domestik amat, saya justru merasa seperti bangsawan zaman dulu yang punya banyak leissure time untuk melakukan hobi. Hehe. Yang membuat saya berulang kali berpikir itu bukan pekerjaan domestiknya, melainkan merenungi ruang oikos. Merenungi hubungan dan interaksi yang terjadi dalam keluarga saya dan keluarga lainnya yang menghadapi problemnya masing-masing.

Dengan ruang oikos yang leluasa, bukan berarti perempuan harus berlabuh dalam peranan publik yang luas sekaligus terbatas misalnya, melainkan kebebasan untuk memilih dan saling mengompromikan kehendak. Bagaimana antaranggota keluarga saling merespon kehendak. Dalam kondisi keluarga yang mempertahankan posisi hierakis, kehendak anggota keluarga selain pimpinan akan segera dinafikan dan rawan terjadi pemaksaan.

Dalam persoalan istilah oikos dan domestik  yang lebih penting dipikirkan dan dilakukan itu bukan aktivitas memasak-mencuci -mendidik  anak-mencari penghasilan (sebagai semata tugas atau rutinitas)—nya, melainkan bagaimana interaksi dalam oikos itu memegang andil dalam menentukan siapa melakukan apa dalam keluarga dan dalam hidupnya sendiri. Pertanyannya adalah seluas apa ruang artikulasi dalam oikos dan  seberapa ‘adil’ otoritas itu didistribusikan di antara anggota keluarga.

WaLlahu a’lam. 

Selasa, 28 Oktober 2014

Surat Tanpa Amplop untuk Pemimpin Masa Depan


Saya tak pernah membayangkan, para pemimpin yang ‘mengerjakan’ Indonesia berpetuah dengan nada yang amat pribadi kepada saya. Itulah yang saya rasakan ketika membaca kumpulan surat yang datang dari hati dengan menggugah kenangan dan pengalaman yang telah mereka lalui. Salah satu yang membuat saya tertegun adalah ungkapan Emil Salim, ‘Kini kau mahasiswa berusia duapuluhan. Bagaimana Indonesia jika kau capai usia 40-an?’ Kalimat Emil Salim ini merumuskan pertanyaan inti yang tersebar dalam seluruh isi buku ini. Seluruh tulisan mengurai dua kata kunci magis, ‘Pemimpin’ dan ‘Indonesia’.

Buku ‘Surat dari Pemimpin untuk Pemimpin’ ini berisi surat yang ditulis oleh 95 pemimpin di Indonesia. Versi pemimpin ini sebaik mungkin dipilih oleh Tempo, meski masyarakat boleh tak suka atau bersepakat dengan pilihan pengumpul surat. Bahkan barangkali ada penulis yang sama sekali tak pernah didengar namanya. Namun dalam tulisannya, pembaca bisa memahami bahwa penulis surat tengah melakukan sesuatu untuk Indonesia. Karena ia telah bekerja, ia bisa berharap kelak pekerjaannya akan ada yang meneruskan.
Surat-surat ini dikumpulkan untuk menyampaikan pemikiran dan suara hati generasi pemimpin masa kini kepada generasi pemimpin masa depan. Buku ini diluncurkan oleh Tempo Institute bersama General Electric Indonesia dan Garuda Indonesia sebagai bagian dari program ‘Menjadi Indonesia’.  Yakni sebuah upaya untuk mendorong perubahan Indonesia yang lebih baik melalui tangan para pemimpin lintas generasi.

95 pemimpin yang mengirimkan suratnya kepada pemimpin penerus bangsa di antaranya; Franz Magnis-Suseno, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Adnan Buyung Nasution, Goenawan Mohammad, Joko Widodo, Rahman Toleng, Quraish Shihab, Dahlan Iskan, Andrea Hirata, Pandji Pragiwaksono, Butet Manurung, Joko Pekik, Mira Lesmana, dan puluhan nama lainnya. Mereka adalah politisi, agamawan, negarawan, seniman, budayawan, atau mungkin jenisnya sulit untuk dikategorisasi. Tetapi mereka semua masuk dalam satu jenis manusia, pecinta Indonesia lewat kerja. Di buku ini, mereka berbagi kisah, gagasan, cita-cita, kritik, dan pengalaman.

Memaknai ‘Pemimpin’

Apakah Stalin itu pemimpin? Ia menggerakkan banyak orang di bawah kepemimpinannya. Dia sangat berkuasa dan berani menerima tantangan Hitler untuk berperang dengan Jerman di bawah pengaruh Nazi. Apakah Hitler itu pemimpin? Stalin dan Hitler memiliki pengaruh secara politis dan ideologis sampai hari ini. Sejarah dunia mencatat mereka, di antaranya melalui ingatan bahwa jutaan nyawa telah mereka hilangkan. Apakah mereka berdua pemimpin?

Pertanyaan ini agaknya sulit untuk dijawab. Tidak semua orang memiliki kemampuan untuk menyatukan keinginan dan gerak kerja dalam dirinya. Pemimpin diri sendiri haruslah mampu membuat gagasannya dikerjakan oleh seluruh anggota tubuh. Dalam skala yang lebih besar, pemimpin harus mamengaruhi (influence) komunitasnya untuk mengerjakan visi bersama dan membuat mereka percaya (trust) bahwa ia bisa memimpin mereka. Stalin dan Hitler memenuhi dua syarat ini. Tetapi, bisakah disebut pemimpin jika yang ia kerjakan berlawanan dengan kemanusiaan?

Saya menemukan para pemimpin dalam buku ini adalah para pekerja keras dan bernurani, bukan berarti mereka luput dari kesalahan. Surat yang mereka tulis adalah kabar buruk bagi para pemalas. Untuk menjadi menteri, direktur, pemusik handal, penulis terkenal, wali kota, dan bahkan penjaga gunung, setiap langkah dalam masa lalu sungguh menentukan mereka hari ini.

Biarkan saya memilih salah satu kisah, milik Susi Pudjiastuti, direktur SUSI Air. Ia besar di Pangandaran sebagai gadis putus sekolah dan terpaksa menjalani kehidupan dengan menjual apa saja yang bisa dijual. Setelah lika-liku panjang, ia menemukan lobster sebagai dagangan yang menjadi kunci perubahan hidupnya. Ia tertantang untuk membuat terobosan, yaitu menerbangkan lobster ke Jakarta supaya bisa sampai dalam keadaan segar. Sejak saat itu, Susi konsisten mengudara. Pada 2006, tanpa kepastian keselamatan landas, ia bersikeras mendaratkan pesawat pertama kali di Meulaboh guna mendaratkan bantuan bagi korban tsunami yang masih terisolir.

Pesan Susi bagi generasi muda sungguh menghentak, “mulailah ubah pola pikir kita untuk selalu mau bekerja keras, jangan berleha-leha. Sangatlah tidak pantas di negeri yang kaya raya, kita menjadi miskin.”

Lantas dari mana kita harus memulai untuk memimpin Indonesia? Bondan Winarno yang masyhur dengan jargon ‘maknyus’  itu menawarkan sebuah etos hidup. Lakukan yang terbaik untuk perkara seremeh apapun. Melakukan yang terbaik untuk setiap perkara yang bisa dikerjakan itu berarti menjalani hidup dengan konsistensi dan integritas. Tak peduli, meski perkara itu tampak sepele. Manusia yang mengerjakan perkara dengan kemampuan terbaik dalam hidupnya, ia akan mendapat kesempatan untuk meraih jalan yang lebih baik.

Indonesia ini barangkali terlalu luas untuk dijaga. Tetapi jika masing-masing dari kita mau mengelola energi untuk konsisten menjaga seremeh apapun tentang Indonesia, maka ada 240 juta energi yang bekerja untuk Indonesia. Sayangnya hari ini, barangkali separuh di antaranya tak mengerjakan apa-apa untuk diri mereka, apalagi Indonesia. Sebagian dari Indonesia justru merusak dirinya dengan korupsi, meneror, dan membodohi.

Seabad Indonesia

Buku ini seolah hadir untuk mengingatkan dengan keras para generasi muda yang hidup dengan miskin bacaan dan penjelajahan. Indonesia di usia satu abad kelak akan ada di tangan generasi muda yang dilimpahi banyak utang, kekecawaan, dan sinisme di dekade ini. Akan seperti apa rupa Indonesia pada usia 100 tahun?  

Dari surat-surat generasi senior yang lebih lama hidup dan menghidupi Indonesia, pesan-pesan mereka teramat dalam untuk kita menghargai perbedaan dan merawat kebhinekaan. Karagaman ini hanya bisa hidup dalam iklim demokratis yang berbahan bakar rasionalitas dan bisa padam oleh sikap emosional dan provokatif. Para generasi terdahulu telah seoptimal mungkin sampai pada pencapaian mereka. Tetapi, generasi yang datang selanjutnya tidak lahir dengan kebijaksanaan yang dipalajari generasi tua selama hidupnya. Mereka harus belajar lagi dan dituntut untuk mencapai kemajuan yang lebih mutakhir. Juga menghindari pertumpahan darah atas nama agama, etnis, dan rezim politik.

Rahman Toleng seorang aktivis yang lahir delapan tahun sebelum kemerdekaan, mengutip sebuah puisi karya sosialis Belanda dalam suratnya; “kami ini bukanlah generasi pembangun candi/kami hanyalah pengangkut bebatuan/kami adalah angkatan yang harus punah/agar tumbuh generasi yang lebih sempurna di atas kuburan kami.”

Membayangkan seabad Indonesia mungkin terlalu maju untuk dipikirkan sekarang. Sementara persoalan kita saat ini belum tentu bisa selesai besok. Tetapi kita terus terdesak oleh angka, refleksi itu semakin dalam dengan semakin tua bangsa kita. Kemajuan Indonesia di hari esok bergantung pada upaya manusia Indonesia hari ini.

Buku ini lebih dari sekadar berisi motivasi, melainkan upaya akselerasi watak penggerak kebangsaan yang gigih. 95 orang ini adalah para penyala optimisme untuk Indonesia mendatang karena mereka telah bekerja dan memahami bahwa tujuan Indonesia makmur sangat mungkin dicapai. Sinisme hanya lahir dari orang yang tidak melakukan apa-apa. Tinggal pilih kita mau ‘Menjadi Indonesia’ yang mana.




   

Senin, 29 Juli 2013

Menuju Gummersbach


Jumat pertama di bulan mei, bangun tidur menemukan hape dalam keadaan mati. Ketika kunyalakan, sms dari Mbak Tata mencecar. Ternyata, sekitar sejam sebelumnya, Mbak Alissa Wahid berusaha menghubungi saya. Wah, tentu penting. Tapi, apa gerangan?

Tak lama kemudian, Mbak Alissa menelepon saya dengan tawaran yang tak dapat ditolak. “Mbak, sampean mau mewakili GUSDURian ke Jerman?” Meski saya belum sepenuhnya paham saya diutus acara seminar yang bagaimana, lembaga macam apa yang memberangkatkan, saya menurut saja ketika disuruh untuk mengirim CV. Saya pun akhirnya browsing sendiri apa itu Friedrich Naumann Stiftung. Saya tercengang, mereka menggelar seminar internasional tiap bulan di Gummersbach Jerman dengan isu yang beragam. Kali ini, saya kebagian seminar dengan isu Political Leadership for Young Leaders.

Saya melakukan berbagai persiapan karena saya sebenarnya tak cukup percaya diri. Penyebabnya banyak, di antaranya saya merasa bukan kader GUSDURian yang ulet sehingga pantas menerima kehormatan untuk mewakili Gdian ke ajang internasional. Banyak kader yang lebih pengalaman, ulet, dan engaged betul dengan ide-ide GDian. Kedua, bahasa inggris saya standar sekali.

Saya menunggu pengumaman itu persis sebulan. Viola, saya diterima! Dua minggu sebelum pengumuman, saya mengalami pengalaman yang mungkin khas NU. Pertengahan Mei, Gus Dur hadir dalam mimpi saya. Latar belakangnya di Pondok Krapyak. Pertemuan itu hanya saya dan Gus Dur di sebuah ruangan, beliau bilang saya harus belajar cara berpikir orang Jerman. Meski terdengar aneh, saya kian yakin kalau saya berangkat, misi ini tak main-main.

Saya melakukan berbagai persiapan, mulai dari melengkapi berkas untuk apply visa, menulis dua esai tentang isu regional dan Indonesia, juga mencetak beberapa souvenir GDian. Karena sudah lama tidak tertarik lagi dengan isu politik praktis, saya pun menghadap pada Lora Gaffar Karim untuk meminta kursus singkat Politik Indonesia hanya dalam waktu satu jam. Saya juga menemui Mbak Alissa untuk meminta pertimbangan pesan apa yang harus saya bawa ke sana.

Mbak Anung dan Mbak Vero adalah dua staff FNF yang paling berjasa mengurus pemberangkatan saya. Mereka menyiapkan berkas-berkas penting seperti inivitation letter, asuransi, tiket pesawat, bahkan invitation letter untuk extend.  Mereka baik sekali . FNF memberi waktu extend lima hari termasuk waktu di perjalanan. Saya memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini jalan ke Paris. Ini rute yang lazim buat mahasiswa Indonesia yang punya acara di Jerman atau Belanda untuk datang ke Perancis karena faktor jarak yang dekat.

Appoinment pengurusan visa di Kedutaan Jerman jatuh pada 19 Juni. Kedutaan Jerman terkenal paling galak di antara kedutaan-kedutaan lain yang mengeluarkan Visa Schengen. Dengan saran dari Kang Munawir Aziz, saya pun baca fatihah sejak berangkat dari kosan Mamski Inda Marlina di Karet hingga sampai ke kedutaan demi kelancaran pengurusan visa saya.

Suasana di Kedutaan Jerman memang tidak terlalu bersahabat. Semuanya hening, Cuma ada suara petugas loket dan pengaju visa yang tengah diwawancara. Ada tv, tetapi bisu. Saya tidak berhenti berdoa dan mengecek berkali-kali kelengkapan berkas saya.

Ada empat loket. Saya perhatikan, loket dua dan tiga yang paling galak. Ada lelaki muda yang lama sekali diwawancara, entah apa persoalannya. Akhirnya saya pun dipanggil ke loket dua. Saya lihat, Mbak petugasnya cantik, berkacamata, etnis Tionghoa. Pertanyaan pertama standar saja, mau apa ke Jerman. Saya sebut saja seminar FNF, Mbaknya jadi tidak tanya banyak lagi.

Lalu dia menemukan lembar rekomendasi dengan kop surat Jaringan GUSDURian dan tanda tangan Alissa Wahid. “Apa ini GUSDURian?”
“Itu komunitas, Mbak.”
“Komunitas  apa?”
“Itu yang tanda tangan putrinya Gus Dur. Ini semacam komunitas penerus pemikiran Gus Dur.”
“Oh, komunitas Gitu Aja Kok Repot, ya?” sambil senyum sedikit.
“Haha, iya, Mbak. Makanya, jangan dibikin repot ya visa saya”

Jebret! Stempel mendarat di aplikasi saya. Selesai sudah mengurus visa di Kedutaan Jerman yang katanya horor itu.

Saya berangkat tanggal 29 Juni dari Cengkareng dengan kondisi hati yang tak karuan. Sebab saya masih tidak cukup percaya diri. Indonesia, Gus Dur, dan GUSDURian itu bukan perkara enteng untuk saya wakili. Saya terbang dengan bekal doa dari kedua orang tua dan orang-orang yang mencintai saya.